BUNGA BANK
1. LATAR BELAKANG
Kontroversi bunga bank, khususnya bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Untuk mendudukkan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistem bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu, saya sebagai penulis mencoba menjelaskan apakah sama antara riba dan bunga bank dalam pandangan Fiqh Kontemporer. Berikut, pemaparan penulis tentang bunga bank.
2. IDENTIFIKASI MASALAH
a. Defenisi Bunga Bank
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah, menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is “A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned“. (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA). “Interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau presentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal. Pendapat lain menyatakan Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan.
Jadi, bunga bank adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang kepada bank atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang menyimpan uang di bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut.
b. Defenisi Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-ziyadah) atau “kelebihan”, yakni tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang bertransaksi.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah: Ar-Riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Pengertian riba menurut pendapat ulama adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
Riba adalah tambahan dari modal. Maksudnya, suatu transaksi yang dilakukan oleh 2 orang, baik dalam keadaan tunai maupun pinjaman, dengan ketentuan salah seorang diantaranya memperoleh tambahan dari modal utama pada saat transaksi (Dikutip dari buku Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, oleh Prof. Dr. H. Umar Syihab).
Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an (lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Pada garis besarnya riba terbagi atas 2 macam, yakni:
a) Riba Nasi’ah, yakni riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an, bentuk riba yang berlaku pada zaman jahiliyah, dengan kelebihan pembayaran yang ditentukan atau diharuskan kepada orang berutang, sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diberikan.
b) Riba Fadhl, yakni riba yang dilarang dalam hadist Nabi Saw. Yakni bentuk riba yang berkaitan dengan jual beli, dengan ketentuan kelebihan yang diperoleh dalam tukar menukar barang yang sejenis, seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum, dan lain-lain yang berkaitan dengan tolok ukur, misalnya timbangan.
Merujuk dari penjelasan tentang bunga bank dan riba di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bunga sama dengan riba. Mengapa demikian, karena secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak bank atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai. Namun demikian, masih terdapat banyak perbedaan pendapat antar ulama, ada yang menganggap bahwa bunga bank sama dengan riba sesuai dengan defenisi di atas, namun ada pula yang membedakannya, berikut uraian penulis.
3. BEBERAPA PENDAPAT MENGENAI BUNGA BANK
a. Pendapat yang menganggap bunga bank sama dengan riba
a) Menurut Muhammad ‘Ali al-Shabuni, menganggap bunga bank sebagai riba nasi’ah, sebagaimana riba yang berlaku di zaman jahiliyah. Alasannya bahwa dalam mekanisme kerjanya, bank memberikan bunga (tambahan) kepada orang yang menyimpan uangnya, sebaliknya bank juga memungut bunga terhadap nasabahnya. Maksud dari pemberiaan dan pemungutan bunga tersebut adalah sebagai imbalan atas beroperasinya uang yang diambil atau disimpan itu. Besarnya bunga tersebut, biasanya sekitar 1-21/2% dari modal pokok setiap bulannya. Karena adanya tambahan tersebut, maka beliau menganalogikan bunga bank dengan riba.
b) M. Umer Chapra (2001) dan Yusuf al-Qardhawi (2001) merujuk kepada keputusan bulat dari sejumlah konferensi internasional para fukaha yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan riba. Termasuk di antaranya adalah Muktamar al Fiqh al Islami yang diselenggarakan di Paris tahun 1951 dan di Kairo pada 1965, lalu pertemuan Komite Fikih OKI dan Rabithan ‘Alam Islami yang diselenggarakan pada tahun 1985 dan 1986 masing-masing di Kairo dan Mekkah. Dengan konsensus mutlak tersebut sudah tidak ada peluang lagi untuk berargumentasi, bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam islam.
b. Pendapat yang membedakan antara bunga bank dan Riba
a) Dr. Sami Hasan Ahmad Mahmud dalam bukunya, Tathwir al- A’mal al- Mashrafiyyah mengutip pendapat Baqir al- Shadr, yang mengemukakan beberapa alasan hukum tentang kebolehan mengambil bunga bank konvensional untuk digunakan bagi kemaslahatan umum. Dasar hukum terkuat, bagi Baqir al-Shadr, adalah pendapat yang menyatakan bahwa dibolehkan melakukan transaksi dengan non muslim, sebagaimana pendapat ulama mazhabnya, dan ulama mazhab yang lain, seperti mazhab Hanafi. Dasar pertimbangan semacam ini tidak disetujui oleh ulama-ulama bermazhab syafi’i, malik, dan Hanbali, dengan alasan bahwa riba pada dasarnya haram, dan ketetapan hukum ini berlaku terhadap siapa saja, baik muslim maupun non-muslim.
b) Gharib Al-Jammal, dalam bukunya Al-Masharif wa al-A’mal al-Mashrafiyyah (hlm. 435) menulis, ”Bagi kaum muslim yang mendepositokan uang mereka di bank-bank, maka tiada keraguan tentang bolehnya orang-orang muslim itu untuk mengambil bunga tadi, bahkan boleh jadi mengambilnya menjadi wajib apabila kaum muslim tertimpa mudarat bila bunga itu tidak diambil.”
c) Pendapat yang dikutip dari buku Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, oleh Prof. Dr. H. Umar Syihab, mengatakan bahwa bunga bank berbeda dengan riba. Alasannya bahwa jumlah bunga yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diperlakukan di zaman jahiliyah. Pemungut riba pada masa itu senantiasa memperoleh keuntungan besar, sementara peminjamnya selalu tercekik dengan utang dan tidak mampu membayarnya. Pemungutan bunga bank tidak akan membuat bank itu sendiri atau nasabahnya memperoleh keuntungan besar, sebaliknya bank atau nasabah tidak akan merasa dirugikan atas adanya pemberian bunga tersebut. Selain itu, pendapat ini menyatakan bahwa tujuan pengambilan kredit dari debitur pada zaman jahiliyah ialah untuk konsumsi (tujuan konsumtif), sehingga mereka harus menderita bila tenggang waktu pembayaran telah tiba, sementara kreditur belum mempunyai uang. Dalam keadaan demikian, dilipatgandakanlah rentenya sebagai akibat dari keterlambatan tersebut. Itulah sebabnya Allah Swt, melaknat perbuatan semacam itu dan mengharamkannya, karena debitur pada saat itu tidak berprikemanusiaan. Berbeda dengan kenyataan sekaraang, tujuan peminjaman uang di bank adalaah untuk produksi (tujuan produktif) dan bukan tujuan konsumtif, sehingga para kreditur tidak akan merasa rugi akibat adanya bunga. Bahkan pihak nasabah merasa tertolong dan beruntung atas adanya jasa bank untuk mengembangkan usahanya. Seperti halnya, salah satu kebolehan jual beli adalah adanya kerelaan kedua belah pihak dalam transaksi, yakni penjual dan pembeli merasa beruntung. Demikian halnya dengan bunga bank, kedua pihak (bank dan nasabah) merasa beruntung. Oleh karena itu, tidak sepantasnya bunga bank diharamkan, sebab meskipun diidentikkan dengan riba, tetapi tujuan dan metode pelaksanaannya jauh berbeda dari apa yang pernah dipraktekkan pada masa jahiliyah yang telah diharamkan dalam Al-Qur’an. Dan bunga bank lebih tepat dianalogikan dengan jual beli yang didasari atas suka sama suka.
4. DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN BUNGA BANK
a. Al-Qur’an
Firman Allah Swt yang berkaitan dengan bunga bank adalah sebagai berikut:
QS. Ar-Rum : 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
QS. An-Nisa : 161
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
QS. Ali-Imran : 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Yang dimaksud riba dalam QS. Ali-Imran: 130 ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasi’ah dan fadhl. Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya, karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
QS. Al-Baqarah : 275-276
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
QS. Al-Baqarah : 278-279
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
b. Hadist
a) “Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya dia tidak boleh menerima hadiah.” (Bukhari dalam kitabnya Tarikh, dan Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa).
b) “Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.” (Sunan al-Baihaqi, Kitab al Buyu, Bab Kullu Qardin Jarra Manfaatan fa Huwa Riban).
c) Dikutip dari HR. Muslim dan al Bukhari dari Abu Sa’id al Khudri yang artinya “janganlah engkau menjual emas dengan emas, melainkan dengan harga yang sama, dan janganlah menambah sebagian atas bahagian yang lain, jangan (pula) engkau menjual perak dengan perak, kecuali dengan harga yang sama, dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas sebagian lainnya, serta jangan engkau menjual barang yang ada di tempat dengan barang yang gaib.”
Dari berbagai dalil di atas mengenai bunga bank, maka dapat disimpulkan bahwa sesuatu tambahan tidak termasuk riba apabila:
· Tambahan itu tidak disyaratkan di muka atau dijanjikan terlebih dahulu.
· Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam.
· Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo.
Dengan demikian, cukup jelas bahwa bunga bank termasuk praktik riba yang hukumnya haram, karena bunga disyaratkan di muka pada waktu menerima pinjaman, atas inisiatif pemberi pinjaman yang timbul pada awal akan diberikannya pinjaman.
5. PANDANGAN PENULIS MENGENAI BUNGA BANK
Dari beberapa penjelasan di atas, penulis berasumsi bahwa bunga bank tidak dapat disamakan dengan riba karena inti keharaman riba adalah adanya salah satu pihak yang dirugikan dan dizalimi dalam bertransaksi. Sementara dalam praktik bunga bank kedua belah pihak sama-sama saling menguntungkan, tidak ada yang menganiaya dan tidak ada yang merasa dianiaya. Jadi, menurut saya, bunga bank dibolehkan, namun hukum boleh itu bisa berubah sesuai kondisi, apalagi kalau mengancam kemaslahatan umat, bunga bank bisa menjadi haram karena dapat merusak sistem ekonomi dunia.
Referensi:
DR. Muhammad Muslehuddin, Ph. D. Sistem Perbankan dalam Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
M. Quraish Shihab. Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera hati, 2008.
Prof. Dr. H. Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Dina Utama, 1996.
Wirdyaningsih, SH., MH., et al. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
http://mujahidinimeis.wordpress.com/2010/05/02/analisis-fiqh-kontemporer-terhadap-keterkaitan-antara-riba-dan-bunga-bank/
izin copas ya buat tugas terimakasih
BalasHapusKepastiannya yg diharamkan, krn pemberian bunganya sdh dipastikan sekian dan sekian. Dan dipastikan juga pd masalah usahanya/tijarohnya.
BalasHapusوَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.
(Luqman 31:34)
setuju krn bank itu perusahaan bukan perseorangan.kalau kasus pd jaman nabi itu transaksi orang dengan orang. sedangkan bank adalah lembaga atau perusahaan.jd kalau transaksi di bank itu antara perusahaan dan perorangan.jd jelas beda kasus.dan tidak ada unsur paksaan.
BalasHapus