Minggu, 11 Desember 2011

BUNGA BANK DALAM FIQH KONTEMPORER

BUNGA BANK

1.      LATAR BELAKANG
Kontroversi bunga bank, khususnya bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Untuk mendudukkan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistem bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu, saya sebagai penulis mencoba menjelaskan apakah sama antara riba dan bunga bank dalam pandangan Fiqh Kontemporer. Berikut, pemaparan penulis tentang bunga bank.
2.      IDENTIFIKASI  MASALAH
a.      Defenisi Bunga Bank
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah, menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is “A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned“. (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA). “Interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau presentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal. Pendapat lain menyatakan Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan.
Jadi, bunga bank adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh orang yang berhutang kepada bank atau keuntungan yang diberikan pihak bank kepada orang yang menyimpan uang di bank dengan besar-kecil sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank tersebut.
b.      Defenisi Riba
Riba berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-ziyadah) atau “kelebihan”, yakni tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang bertransaksi.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah: Ar-Riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Pengertian riba menurut pendapat ulama adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
Riba adalah tambahan dari modal. Maksudnya, suatu transaksi yang dilakukan oleh 2 orang, baik dalam keadaan tunai maupun pinjaman, dengan ketentuan salah seorang diantaranya memperoleh tambahan dari modal utama pada saat transaksi (Dikutip dari buku Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, oleh Prof. Dr. H. Umar Syihab).
Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an (lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Pada garis besarnya riba terbagi atas 2 macam, yakni:
a)      Riba Nasi’ah, yakni riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an, bentuk riba yang berlaku pada zaman jahiliyah, dengan kelebihan pembayaran yang ditentukan atau diharuskan kepada orang berutang, sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diberikan.
b)      Riba Fadhl, yakni riba yang dilarang dalam hadist Nabi Saw. Yakni bentuk riba yang berkaitan dengan jual beli, dengan ketentuan kelebihan yang diperoleh dalam tukar menukar barang yang sejenis, seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum, dan lain-lain yang berkaitan dengan tolok ukur, misalnya timbangan.
Merujuk dari penjelasan tentang bunga bank dan riba di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bunga sama dengan riba. Mengapa demikian, karena secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak bank atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai. Namun demikian, masih terdapat banyak perbedaan pendapat antar ulama, ada yang menganggap bahwa bunga bank sama dengan riba sesuai dengan defenisi di atas, namun ada pula yang membedakannya, berikut uraian penulis.


3.      BEBERAPA PENDAPAT  MENGENAI BUNGA BANK
a.      Pendapat yang menganggap bunga bank sama dengan riba
a)      Menurut Muhammad ‘Ali al-Shabuni, menganggap bunga bank sebagai  riba nasi’ah, sebagaimana riba yang berlaku di zaman jahiliyah. Alasannya bahwa dalam mekanisme kerjanya, bank memberikan bunga (tambahan) kepada orang  yang  menyimpan uangnya, sebaliknya bank juga memungut bunga terhadap nasabahnya. Maksud dari pemberiaan dan pemungutan bunga tersebut adalah sebagai imbalan atas beroperasinya uang yang diambil atau disimpan itu. Besarnya bunga tersebut, biasanya sekitar 1-21/2% dari modal pokok setiap bulannya. Karena adanya tambahan tersebut, maka beliau menganalogikan bunga bank dengan riba.
b)      M. Umer Chapra (2001) dan Yusuf al-Qardhawi (2001) merujuk kepada keputusan bulat dari sejumlah konferensi internasional para fukaha yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan riba. Termasuk di antaranya adalah Muktamar al Fiqh al Islami yang diselenggarakan di Paris tahun 1951 dan di Kairo pada 1965, lalu pertemuan Komite Fikih OKI dan Rabithan ‘Alam Islami yang diselenggarakan pada tahun 1985 dan 1986 masing-masing di Kairo dan Mekkah. Dengan konsensus mutlak tersebut sudah tidak ada peluang lagi untuk berargumentasi, bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam islam.
b.      Pendapat yang membedakan antara bunga bank dan Riba
a)      Dr. Sami Hasan Ahmad Mahmud dalam bukunya, Tathwir al- A’mal al- Mashrafiyyah mengutip pendapat Baqir al- Shadr, yang mengemukakan beberapa alasan hukum tentang kebolehan mengambil bunga bank konvensional untuk digunakan bagi kemaslahatan umum. Dasar hukum terkuat, bagi Baqir al-Shadr, adalah pendapat yang menyatakan bahwa dibolehkan melakukan transaksi dengan non muslim, sebagaimana pendapat ulama mazhabnya, dan ulama mazhab yang lain, seperti mazhab Hanafi. Dasar pertimbangan semacam ini tidak disetujui oleh ulama-ulama bermazhab syafi’i, malik, dan Hanbali, dengan alasan bahwa riba pada dasarnya haram, dan ketetapan hukum ini berlaku terhadap siapa saja, baik muslim maupun non-muslim.
b)      Gharib Al-Jammal, dalam bukunya Al-Masharif wa al-A’mal al-Mashrafiyyah (hlm. 435) menulis, ”Bagi kaum muslim yang mendepositokan uang mereka di bank-bank, maka tiada keraguan tentang bolehnya orang-orang muslim itu untuk mengambil bunga tadi, bahkan boleh jadi mengambilnya menjadi wajib apabila kaum muslim tertimpa mudarat bila bunga itu tidak diambil.”
c)      Pendapat yang dikutip dari buku Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, oleh Prof. Dr. H. Umar Syihab, mengatakan bahwa bunga bank berbeda dengan riba. Alasannya bahwa jumlah bunga yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diperlakukan di zaman jahiliyah. Pemungut riba pada masa itu senantiasa memperoleh keuntungan besar, sementara peminjamnya selalu tercekik dengan utang dan tidak mampu membayarnya. Pemungutan bunga bank tidak akan membuat bank itu sendiri atau nasabahnya memperoleh keuntungan besar, sebaliknya bank atau nasabah tidak akan merasa dirugikan atas adanya pemberian bunga tersebut. Selain itu, pendapat ini menyatakan bahwa tujuan pengambilan kredit dari debitur pada zaman jahiliyah ialah untuk konsumsi (tujuan konsumtif), sehingga mereka harus menderita bila tenggang waktu pembayaran telah tiba, sementara kreditur belum mempunyai uang. Dalam keadaan demikian, dilipatgandakanlah rentenya sebagai akibat dari keterlambatan tersebut. Itulah sebabnya Allah Swt, melaknat perbuatan semacam itu dan mengharamkannya, karena debitur pada saat itu tidak berprikemanusiaan. Berbeda dengan kenyataan sekaraang, tujuan peminjaman uang di bank adalaah untuk produksi (tujuan produktif) dan bukan tujuan konsumtif, sehingga para kreditur tidak akan merasa rugi akibat adanya bunga. Bahkan pihak nasabah merasa tertolong dan beruntung  atas adanya jasa bank untuk mengembangkan usahanya. Seperti halnya, salah satu kebolehan jual beli adalah adanya kerelaan kedua belah pihak dalam transaksi, yakni penjual dan pembeli merasa beruntung. Demikian halnya dengan bunga bank, kedua pihak (bank dan nasabah) merasa beruntung. Oleh karena itu, tidak sepantasnya bunga bank diharamkan, sebab meskipun diidentikkan dengan riba, tetapi tujuan dan metode pelaksanaannya jauh berbeda dari apa yang pernah dipraktekkan pada masa jahiliyah yang telah diharamkan dalam Al-Qur’an. Dan bunga bank lebih tepat dianalogikan dengan jual beli yang didasari atas suka sama suka.
4.      DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN BUNGA BANK
a.      Al-Qur’an
Firman Allah Swt yang berkaitan dengan bunga bank adalah sebagai berikut:
QS. Ar-Rum : 39

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

QS. An-Nisa : 161

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
QS. Ali-Imran : 130

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Yang dimaksud riba dalam QS. Ali-Imran: 130 ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasi’ah dan fadhl. Riba nasi’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya, karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
QS. Al-Baqarah : 275-276

275.  Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276.  Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
QS. Al-Baqarah : 278-279

278.  Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279.  Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
b.      Hadist
a)      “Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya dia tidak boleh menerima hadiah.” (Bukhari dalam kitabnya Tarikh, dan Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa).
b)      “Ketika seseorang  memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.” (Sunan al-Baihaqi, Kitab al Buyu, Bab Kullu Qardin Jarra Manfaatan fa Huwa Riban).
c)      Dikutip dari HR. Muslim dan al Bukhari dari Abu Sa’id al Khudri yang artinya “janganlah engkau menjual emas dengan emas, melainkan dengan harga yang sama, dan janganlah menambah sebagian atas bahagian yang lain, jangan (pula) engkau menjual perak dengan perak, kecuali dengan harga yang sama, dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas sebagian lainnya, serta jangan engkau menjual barang yang ada di tempat dengan barang yang gaib.”
Dari berbagai dalil di atas mengenai bunga bank, maka dapat disimpulkan bahwa sesuatu tambahan tidak termasuk riba apabila:
·         Tambahan itu tidak disyaratkan di muka atau dijanjikan terlebih dahulu.
·         Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam.
·         Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo.
Dengan demikian, cukup jelas bahwa bunga bank termasuk praktik riba yang hukumnya haram, karena bunga disyaratkan di muka pada waktu menerima pinjaman, atas inisiatif pemberi pinjaman yang timbul pada awal akan diberikannya pinjaman.

5.      PANDANGAN PENULIS MENGENAI BUNGA BANK
Dari beberapa penjelasan di atas, penulis berasumsi bahwa bunga bank tidak dapat disamakan dengan riba karena inti keharaman riba adalah adanya salah satu pihak yang dirugikan dan dizalimi dalam bertransaksi. Sementara dalam praktik bunga bank kedua belah pihak sama-sama saling menguntungkan, tidak ada yang menganiaya dan tidak ada yang merasa dianiaya. Jadi, menurut saya, bunga bank dibolehkan, namun hukum boleh itu bisa berubah sesuai kondisi, apalagi kalau mengancam kemaslahatan umat, bunga bank bisa menjadi haram karena dapat merusak sistem ekonomi dunia.

Referensi:
DR. Muhammad Muslehuddin, Ph. D. Sistem Perbankan dalam Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
M. Quraish Shihab. Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera hati, 2008.
Prof. Dr. H. Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Dina Utama, 1996.
Wirdyaningsih, SH., MH., et al. Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
http://mujahidinimeis.wordpress.com/2010/05/02/analisis-fiqh-kontemporer-terhadap-keterkaitan-antara-riba-dan-bunga-bank/

MAKALAH MANAJEMEN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sudah sejak awal Pelita I istilah “Perencanaan Pendidikan” dipergunakan secara luas baik dikalangan pendidikan maupun di luar lingkungan pendidikan, namun belum pernah ditetapkan satu definisi secara resmi. Hingga kini perencanaan itu sendiri belum merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, namun secara garis besar berbagai definisi yang dibuat oleh para ahli sesuai bidang keahliannya, ternyata mempunyai persamaan arti yang pokok. Walaupun dalam susunan kalimatnya atau penekanannya terdapat perbedaan, tetapi tidak berarti bahwa beberapa definisi yang akan dibahas tidak benar.
Perencanaan Pendidikan di Indonesia merupakan suatu proses penyusunan alternatif kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang akan dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan pendidikan nasional dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di bidang sosial ekonomi, sosial budaya dan kebutuhan pembangunan secara menyeluruh terhadap pendidikan nasional.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana Manajemen Kebijakan Pendidikan dan hubungannya dengan Perencanaan Pendidikan?



BAB II
PEMBAHASAN
a)      Manajemen Kebijakan Pendidikan
Manajemen Kebijakan Pendidikan adalah rangkaian kegiatan pendidikan yang dilaksanakan dengan cara yang baik sesuai dengan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Sementara menurut Drs. Ary H. Gunawan, Manajemen Kebijakan Pendidikan adalah kebijaksanaan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam ketetapan MPR. RI No. II/ MPR/ 1983.
b)      Perencanaan Pendidikan
Perencanaan dalam arti yang sederhana dapat dijelaskan sebagi suatu proses mempersiapkan hal-hal yang akan dikerjakan pada waktu yang akan datang untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Ada yang mendefinisikan perencanaan pendidikan sebagai suatu alat untuk mengatur sistem pendidikan, penyesuaiannya dengan kebutuhan dan aspirasi seseorang dan masyarakat. Perencanaan harus mampu melihat bagaimana gambaran masyarakat pada masa yang akan datang dan adalah tugas perencanaan untuk menyesuaikan sistem pendidikan ke arah itu. C.E. Beeby dalam tulisannya memberikan definisi tentang perencanaan pendidikan yang dianut oleh banyak Negara berkembang. Ia mengemukakan suatu definisi sebagai berikut:
“Educational planning is the exercising of foresight in determining the policy, priorities and costs of an educational system, having due regard for economic and political realities, for the system’s potential for growth, and for the needs of the country and of the pupils served by the system.”[1]
Perencanaan Pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan, prioritas dan biaya pendidikan dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada dalam bidang ekonomi, sosial dan politik untuk pengembangan potensi sistem pendidikan nasional, memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh sistem tersebut.”
Adapula yang mendefinisikan perencanaan pendidikan sebagai:” Suatu proses mempersiapkan seperangkat alternatif keputusan bagi kegiatan masa depan yang diarahkan kepada pencapaian tujuan dengan usaha yang optimal dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada dibidang ekonomi, sosial budaya secara menyeluruh dari suatu Negara.”
Berdasarkan beberapa definisi di atas,maka kami dapat menyimpulkan bahwa perencanaan pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan keputusan-keputusan atau alternatif kebijaksanaan untuk kegiatan masa depan dalam pembangunan pendidikan.

A.    Manajemen Kebijakan Pendidikan dan Hubungannya dengan Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan seharusnya dipandang sebagai suatu alat yang dapat membantu para pengelola pendidikan untuk menjadi lebih berdaya guna dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perencanaan dapat menolong pencapaian suatu target atau sasaran secara lebih ekonomis, tepat waktu dan memberi peluang untuk  lebih mudah dikontrol dan dimonitor dalam pelaksanaannya. Karena itu perencanaan sebagai unsur dan langkah pertama dalam manajemen kebijakan pendidikan pada umumnya menempati posisi yang amat penting dan amat menentukan.Tidak jarang kita mendengar tuduhan atas “perencanaan yang salah” karena suatu kegiatan tidak mencapai hasil yang optimal, walaupun kekurangberhasilan tadi dapat juga disebabkan adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Agar perencanaan dapat menjadi alat yang berguna bagi manajemen kebijakan pendidikan, seorang perencana perlu memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dan kepemimpinan yang baik. hal ini dianggap penting mengingat perencanaan bukan sebagai pengganti (substitusi) kewenangan seorang pengelola.
Dari apa yang telah diuraikan di atas sudah dapat disimpulkan, mengapa perencanaan dalam segala bidang menjadi penting khususnya dalam masalah kebijakan pendidikan. Pentingnya perencanaan pendidikan di Indonesia ditandai dengan adanya desakan masalah dalam berbagai aspek yang suka atau tidak harus ditangani melalui perencanaan. Tanpa perencanaan maka banyak masalah pendidikan yang akan tertunda penanganannya, dan hal ini dapat menambah besarnya permasalahan pada tahun berikutnya. Melalui perencanaan suasana krisis yang diperlihatkan aspek-aspek  pendidikan menjadi berkurang.
Untuk mengetahui betapa pentingnya  perencanaan dalam rangka menanggulangi masalah pendidikan di Indonesia, dalam uraian berikut diberikan suatu gambaran umum tentang masalah yang dihadapi dunia pendidikan, unit perencanaan dan tenaga perencanaan pendidikan.
Pertama, masalah yang dihadapi dunia pendidikan. Secara sistematis telah diadakan identifikasi dan pengelompokan dari masalah-masalah yang dimaksud, antara lain mengenai kurikulum, personil, materiel, pembiayaan dan pembelanjaan, organisasi, administrasi dan manajemen, partisipasi masyarakat, dan masalah khusus. Masalah-masalah ini kemudian diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok : masalah sistem pendidikan yang usang, masalah tekanan tuntutan akan pendidikaan  sebagai akibat peledakan penduduk dan meningkatnya aspirasi serta harapan masyarakat, masalah terbatasnya atau kurangnya sumber-sumber pengadaan yang meliputi tenaga, sarana dan prasarana serta biaya, dan masalah sistem administrasi negara.
Kedua, Landasan-landasan kebijaksanaan dan tahapan usaha. Dalam usaha menanggulangi masalah-masalah pendidikan digunakan lima landasan kebijaksanaan untuk perencanaan dan pembinaan suatu sistem pendidikan baru: pendidikan harus berpandangan luas dan jauh ke depan, pembangunan pendidikan harus diintegrasikan dengan rencana pembangunan nasional, pendidikan harus bersifat komprehensif, pendidikan harus integral dalam pengelolaannya(manajemen), dan pembangunan pendidikan harus memperhatikan nilai kuantitatif maupun kualitatif.
Ketiga, unit perencanaan. Perencanaan merupakan suatu strategi untuk mencapai suatu sasaran yang ingin dicapai.
Keempat, tenaga perencanaan pendidikan. Siapakah yang berhak disebut sebagai perencana pendidikan? Seperti kita ketahui bahwa perencanaan pendidikan belumlah merupakan satu ilmu yang bersifat berdiri sendiri, tetapi menggunakan berbagai unsur disiplin atau ilmu pengetahuan yang lain. Di samping itu kebijaksanaan yang mendasari suatu rencana tidak pula dibuat oleh unit perencanaan melainkan oleh para pejabat dari eselon tertentu. Ditinjau dari segi tugas maka perencana pendidikan ialah semua petugas pendidikan mulai dari tingkat yang paling atas (perencana pada tingkat pusat) sampai dengan petugas pendidikan sebagai pelaksana di lapangan(kepala sekolah dan guru). Berdasarkan tugas dan ruang lingkup tanggung jawab maka petugas-petugas perencana pendidikan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.      Petugas perencanaan pada tingkat pusat (national level)
b.      Petugas perencanaan pada tingkat propinsi (regional level)
c.       Petugas perencanaan pada tingkat kabupaten/kotamadya dan kecematan (area level)
d.      Petugas perencanaan pada tingkat sekolah (institutional level)
Perencanaan pendidikan sebagai suatu proses mempergunakan berbagai teknik, mulai dari pendataan (pengumpulan,pengolahan dan analisis data), identifikasi dan analisis masalah manajemen kebijakan pendidikan dengan memakai indikator kuantitatif dan kualitatif, penentuan prioritas dan alternatif kebijaksanaan penanggulangan masalah. Karena itu perencana pendidikan harus mengadakan konsultasi dengan para ahli yang menguasai bidang-bidang yang telah di sebutkan.
Dalam rangka pelaksanaan suatu rencana, kita perlu menyusun rencana program yang merupakan penjabaran perinci tentang langkah-langkah yang diambil untuk menjabarkan kebijaksanaan. Rencana program (program aksi) dikembangkan dengan tujuan untuk memperjelas bagaimana suatu visi dapat dicapai. Rencana program pada dasarnya merupakan upaya untuk implementasi strategi utama organisasi. Rencana program meliputi program kerja untuk mengimplementasikan sasaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh kebijakan organisasi. Untuk suatu bidang atau unit kerja, maka rencana program didasarkan atas perumuan misi, visi, tujuan/sasaran, dan kebijaksanaan yang ada hubungannya dengan segala aspek fungsi bidang atau unit kerja yang bersangkutan.  
Pembuatan rencana program dapat dilakukan sebagaimana contoh berikut:
Visi:
Terwujudnya pendidikan islami yang unggul dalam bidang akademik dan non akademik.
Misi:
ü  Melaksanakan pembelajaran agama Islam dengan mengutamakan pengamalan dan pengalaman untuk mewujudkan lulusan yang berakhlak mulia.
ü  Melaksanakan pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif melalui berbagai pemecahan kasus dan soal-soal standar nasional.[2]









Adapun bentuk-bentuk kebijakan dan rencana programnya sebagai upaya untuk mencapai tujuan dan sasaran dapat diperlihatkan melalui contoh berikut:
Kebijakan
Rencana Program
Memenuhi kebutuhan SDM terutama tenaga guru untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang islami dengan kualitas yang unggul.
Seleksi dan rekrutmen tenaga guru agama untuk bidang keahlian fiqih, akidah akhlak dan hadis.
Mendorong guru untuk selalu meningkatkan kemantapan zikir, pikir, amal saleh, dan kompetensinya baik dalam penguasaan materi/substansi bidang studi maupun metode pengajarannya, serta mampu melakukan berbagai inovasi yang dapat menjamin tercapainya kompetensi siswa untuk setiap mata pelajaran yang diembannya.
Mengirim/ melaksanakan pelatihan guru-guru agama untuk mengikuti pelatihan pengembangan bidang studi agama islam.
Contoh program yang akan dilaksanakan tersebut di atas akan merujuk ke arah tercapainya misi suatu lembaga pendidikan, misalnya sekolah/ madrasah, yaitu “Melaksanakan pembelajaran agama Islam dengan mengutamakan pengamalan dan pengalaman untuk mewujudkan lulusan yang berakhlak mulia”.
Dari program tersebut itulah kemudian dikembangkan dalam proses yang lebih detail pada rencana kegiatan. Dalam mengembangkan rencana kegiatan, suatu lembaga pendidikan harus berpatokan pada sasaran/ tujuan yang ingin dicapai dan strategi utama yang sudah dirumuskan, sehingga misalnya suatu sekolah hendak merumuskan kurikulum yang ada di sekolah tersebut, maka rencana kegiatannya tidak boleh menyimpang dari strategi utama sekolah/ madrasah tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian makalah di atas, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa antara manajemen kebijakan pendidikan dan perencanaan pendidikan saling berkaitan erat, dimana  di antara keduanya memiliki interaksi dan feedback. Perencanaan pendidikan sangat berperan terhadap manajemen kebijakan pendidikan, begitu pula sebaliknya, manajemen kebijakan pendidikan dapat meningkatkan kualitas perencanaan pendidikan.





















[1] Beeby, C.E. Planning and the educational administrator (Unesco: International Institute for   Educational Planning, Paris 1967).
[2] Muhaimin, dkk. 2009. Manajemen Pendidikan (Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah). hal. 187. Jakarta: Kencana

Minggu, 04 Desember 2011

Indahnya Persahabatan

Sahabatku adalah tetesan embun pagi
yang jatuh membasahi kegersangan hati
hingga mampu menyuburkan seluruh taman sanubari
dalam kesejukan

Sahabatku adalah bintang gemintang malam di angkasa raya
yang menemani kesendirian rembulan yang berduka
hingga mampu menerangi gulita semesta
dalam kebersamaan

Sahabatku adalah pohon rindang dengan seribu dahan
yang memayungi dari terik matahari yang tak tertahankan
hingga mampu memberikan keteduhan
dalam kedamaian

Wahai angin pengembara
kabarkanlah kepadaku tentang dirinya

Sahabatku adalah kumpulan mata air dari telaga suci
yang jernih mengalir tiada henti
hingga mampu menghapuskan rasa dahaga diri
dalam kesegaran

Sahabatku adalah derasnya hujan yang turun
yang menyirami setiap jengkal bumi yang berdebu menahun
hingga mampu membersihkan mahkota bunga dan dedaun
dalam kesucian

Sahabatku adalah untaian intan permata
yang berkilau indah sebagai anugerah tiada tara
hingga mampu menebar pesona jiwa
dalam keindahan

Wahai burung duta suara
ceritakanlah kepadaku tentang kehadirannya